Di Bawah Ketiakmu Ingin kusampaikan sebuah pernyataan tentang kenyataan
Bukan sebab aku gelisah atau tak tahu rasa malu
Tadi pagi matahari mendatangiku dengan tubuh kusam
Seperti tak pernah mandi hingga berpuluh kurun
Sementara hasrat kantukku tak membuat pelangi terlelap
Bahkan untuk sekedar menimang pagi buta masih terasa berat
Kutusuk mendung agar membuat cerita tentang angin yang menggelitik sayap sayap ibu
Kemudian semesta terbahak-bahak bersama nyanyian yang sempat membisu
Kunyatakan tanyaku pada terik berapi-api
Sudahkah dia menggiring air menuju hilir
Karena bumiku enggan bertapa dalam kejumudan
Tanah ingin menggeliat, namun terlalu takut
Air ingin berekspresi membuang resah
Tapi pertiwi tak cukup memadai
Dan pertahanan tak terkendali lagi
Tanahku kembali bersorak riuh ramai
Teriakan itu telah mengalahkan seribu gonggongan anjing
Padahal hanya sebatas teriakan hati
Tiada tempat aman selain di ketiakmu
Maka izinkanlah kucari hangat walau aku memang tak tahu malu
Berikan aku setetes kasih meski gelisah menggauliku seluruh
Negeri mentawai belum menjamin damai
Tapi kuyakin pohon-pohon masih sudi berceloteh suatu saat
Coleklah angkasa itu
Dan rahasia rasa segera terbongkar sebelum tanah mengering
Haruskah kububarkan penguasa agar nyaman kembali
Haruskah kusudahi angkara agar tentram merayap
Haruskah kukubur neraka sehingga surga tak berpaling wajah
Akhirnya kucipta duniaku
Pesta segenap musim
Dansa di seluruh penjuru mata angin
Dan inilah duniaku
Dunia di bawah ketiakmu
Tumpah Darahku, Darah Tumpahku Mak
Kumaki pertapaan sunyi di senja yang semakin wingit
Gelora jiwa menghentikan perjalanan darah menuju artileri
Sampai berapa lama akan tertahan
Sedangkan Tuhan membuat jarak terlampau jauh
Teringat Indonesia kita
Teringat dengus wedhus yang menggauli pergaulanmu
Teringat lelaki sang surakso hargo
Mak
Masih membekas di pelupuk otakku
Bagaimana saat bulan pendar kau menyuruhku meneguk lautan
Kumuntahkan persediaan bahagiaku
Pada setiap jabang bayi yang girang menyambut fana dunia
Kuharap akan sama sampai masa tak berbilang
Tentang subuh yang bercerita semangat mengaji anak dusun
Mengenai sleman yang selalu dibasuh embun
Namun kau kembali dengan pertanyaan cemas
Bagaimana jika wedhus tak terurus
Lalu dengan gembelnya dia merengsek menuju dusun
Kusumpal mulutmu dan kukatakan sekali lagi
Langit tak boleh menangis lagi
Tanah ini adalah rahimku
Tak mungkin kutinggalkan dia membusuk sendiri
Tak usah kau menimbang jalan
Kalau perlu kutelan dedaunan yang tercampak
Mak
Kukatakan sekali lagi dan untuk yang terakhir
Perjalananku takkan terhenti
Biarkan Tuhan sendiri yang menghabisi
Kuakhiri hidupku karena setiaku
Kau mencibir, padahal sujudku belum berakhir
Di sini darahku tertumpah untuk pertama kali
Dan di sini pula aku menumpahkan darahku untuk terakhir kali